22 March 2010

wakili aku


bunda genap satu tahun di saat kita diberi kesempatan untuk bertemu
hari ini ucapan yang perlu kita syuykuri adalah ini tahun pertama dan tahun tahun berikutnya adalah pengikut nya yang tak kan ada ahirnya

bunda tak ada kata yang pantas untuk di ucapkan kecuali " terimakasih ya Allah"

atas semua bahagia ini
atas semua nikmat ini
atas semua cerita bahagia ini
atas semua harapan tentang kesempurnaan hidup ini
dan atas nyawa cinta ini

trimakasih amplas
trimakasih teman
trimakasih jalan
trimakasih cikos
trimakasih radio
trimakasih gunung
trimakasih alam
trimakasih 737 900 ER
trimakasih semua semua


aku cinta bunda sampai akhir
aku ingin bersama hingga kehidupan yang nanti

ya allah trimakasihhhhhh

abang 1+1:2

18 March 2010

Rich Dad, Poor Dad




“Ayah lihat kaos Bambang Fasya?”. Anak 5 tahun mengaduk – aduk isi baskom.

Yang ditanya menjawab ringan “Nggak. Habis latihan kemaren ditaroh mana?”

Ditanya begitu anak 5 tahun diam seribu bahasa, keningnya mengernyit, masih sibuk mengaduk – ngaduktumpukan pakaian di baskom. Kali ini matanya berkaca – kaca,

(Btw menurut Anda, siapa nama anak 5 tahun ini?

a. Bambang

b. Bambang Fasya

c. Anak ayah

d. Anak – anakan

What … ? pertanyaan apaan, niy? Apa ada games di cerita ini? )


Mendengar anaknya tidak bersuara, Ayah melepaskan pandangan dari layar laptop (waduh … melepaskan pandangan? moga matanya gak ikut lepas … heks). Ayah berjalan cepat ke teras belakang, kea rah terakhir suara anaknya berasal. “Kaosnya sudah ketemu?” Ayah melongok ke pintu dapur, pintu bagian belakang rumah.

Anak 5 tahun malah lari ke dalam rumah. Pecahlah tangis itu.


(Menurut Anda, hendak kemanakah anak 5 tahun itu?

a. a. Beli kaos baru

b. b. Main kejar – kejaran dengan ayahnya

c. c. Masuk kamar mandi dan pipis

d. d. Main game di laptop ayah

Kalo emang ada games, ini games yang aneh yak? Soalnya niy games suka datang tiba – tiba … huff…)


Ayah mencoba melongok (lagi …) ke beberapa ruangan di dalam rumah (berapa ruangan hayo …?) Ayah mencoba menebak – nebak anak 5 tahun itu berada dimana, lalu setengah berteriak memanggil : “ Fasya … Fasya dimana?”


(Nah .. ketahuan sekarang. Anak 5 tahun itu bernama Fasya. Lalu siapakah Bambang yang disebut – sebut tadi? Apakah Fasya meminjam kaos dari Bambang? … halah)


Guess what …? Ayah mendapati Fasya duduk di teras depan dengan isak tangis yang tersendat – sendat. Tanpa menatap mata ayahnya, Fasya menjawab : “Fasya mau sholat dulu, Ayah”.

Fasya mengambil sandal karet biru kesayangannya, menuju gentong kecil berornamen bamboo di samping rumah yang menimbulkan suara “tong … tong” berirama saat bambunya turun, kalau dialiri air dari pompa listrik yang kenopnya tidak bisa dijangkau Fasya. Alat itu bikinan Ayah.


Fasya berwudlu dengan masih sedikit terisak. Fasya masuk rumah. Ayah sedang bersandar di satu sisi gawangan pintu rumah yang terbuka dengan satu lengan memegang gawangan pintu disisi lainnya, halangan itu dilewati Fasya begitu saja (hya iyalahhh … seberapa, siy tingginya anak usia 5 tahun? Jadi jangan berharap ada adegan Limbo disini J )

B

Fasya yang selesai sholat 2 rakaat langsung dipanggil Ayah yang sedang menunggu di teras depan.

“Tong … tong”


Ternyata ayah menghidupkan pompa itu. Cara khas ayah kalo sedang ingin damai dan santai. “Ayah buatin es jeruk sari”.

Tong … tong


Fasya melirik gelas bening yang sekarang berwarna jingga terang dengan bintik – bintik embun diluar gelas, sangat menggoda. Tapi nggak ada rempah- rempahnya … huff.


(Rempah – rempah yang dimaksud Fasya adalah gumpalan – gumpalan yang biasanya mengambang di atas es hasil proses pembuatan es jeruk sari yang tidak sempurna.Ggara – gara Fasya bikin es dengan cara yang nggak tepat. Maklum anak 5 tahun, jadi begitu serbuk instan ditabur di gelas, saat itu juga es batu ikutan nyemplung, trus diguyur air. Air es. Hasilnya adalah : Es Jeruk Sari, full gumpalan. Tapi menurut Fasya justru itu seninya. Minum es jeruk sari yang berseni, meskipun gara – gara itu Fasya sering batuk)

Tong … tong


Es buatan ayah lomba diam dengan Fasya, sampai Ayah bertanya : “Fasya tadi sholat apa, Nak? Kok 2 rakaat?” Fasya garuk – garuk kepala, “Ndak tahu, Ayah”


“Lho …? Terus tadi niatnya gimana?”


“Uh …niatnya ushalli sunnatan…”


Tong … tong, bambu itu bunyi lagi.


Ayah menunggu lanjutannya “Ya, Nak …? Ushalli sunnatan…?


Tong … tong


“Ehm … ushalli sunnatan… ndak ada lagi”. Mata Fasya mulai berkaca – kaca.


“Tong …tong”


Melihat gelagat akan turun “banjir” susulan, Ayah mulai aneh – aneh … eh … ayah mulai cerita bahwa pemain Timnas itu harus kuat. Seperti Fasya yang nantinya jadi kuat karena minum susu tiap hari, mau makan sayur, buah, seneng lauk ikan dan ayah bilang ayah bangga Fasya disiplin latihan tiap sore di lapangan depan rumah.


Ayah juga bilang sesuatu tentang passing Fasya yang bagus. Ayah yakin nantinya Fasya akan jadi bintang lapangan kaya’ Bambang Pamungkas, striker favorit Fasya.

(Nah … ini jawaban quiz tadi tentang nama Bambang. Yang sedang dicari – cari itu kaos bola dengan tulisan BAMBANG di punggung. Jadi bukannya Fasya pinjem bajunya Bambang. Do you understand?Yes, Sir… ehhmm…)


Di tengah – tengah cerita ayah yang menggebu – gebu (padahal ayah memang selalu menggebu – gebu kalau cerita) tiba – tiba Fasya bilang : “Tapi kaos Bambangnya gak ada, Ayah…hik…hik” (mulai deh, tuh … mewek)

“Tong …tong”


“Tadi sholat do’ain biar Ayah nggakmarah. Kaosnya hilang”

“Tong …tong”


Ayah tertegun, terus menatap mata Fasya dan memastikan. “Berarti tadi niat sholatnya do’ain biar ayah nggak marah?” Fasya diam tanda setuju … eh … diam tanda tebakan ayah tidak meleset (abis dipel ‘kaleee … pake meleset)


“Kenapa Ayah harus marah, Sya?”, tanya ayah balik.

“Soalnya ayah susah dapet kaosnya”, gitu jawab Fasya.


(Fasya ingat ayah pernah cerita kalau kaos bola Timnas ukuran 10 dengan cetakan nama BAMBANG, waktu itu sulit di dapat. Ukurannya tanggung dan … nama itu nama yang aneh … halah … ulangi : … dan yang ada nama Bambangnya cuma kaos Persija.

Carinya sampe ke stadion waktu Persija tandang. Niat ayah mau sekalian minta tanda tangan yang punya nama tapi waktu itu Bambang absen. Ayah cari kaos Bambang di sela – sela kesibukan ayah mau ujian penting di tempat ayah sekolah yang sampai malam itu.

Hujan – hujan ayah dapet kaosnya di kios langganan ayah setelah sebelumnya pesan dulu 1 bulan)

(DL, yah … Derita Loe … J)

“Tong … tong” terus hening.


Ayah mencondongkan tubuhnya sampai kursinya ikut maju dan mengusap – usap kepala Fasya “Minum dulu, nak es nya” (walah … kok kaya’ adegan tuan rumah & tamu gitu?)


Saat yang sama Ayah berfikir : ~(jelegyerrr … bagai petir di siang bolong … halah) “Subhanallah … anakku bukan nangis oleh dirinya. Dia malah berfikir untuk orang lain. Bener – bener … mirip aku … eh … ralat : bener – bener baik hati anakku”


“Ayah nggak marah, Sya. Kapan terakhir Ayah marah?”

“Tong … tong” pancuran bambu itu masih eksis.


Sambil minum es jeruksari yang nggak ada gumpalan kesukaannya, Fasya nggak jawab dan cuma menggeleng.


Melihat gelengan Fasya, ayah langsung goyang – goyangin kepala menirukan gelengan boneka per yang nongkrong di dasbor mobil Pak Rifin temannya ayah.


Melihat ayah jadi aneh, hampir Fasya tersedak kalo tidak cepat – cepat menarik kepalanya dari cengkeraman mulut gelas… (halah…)

“Tong … tong”


“Xixixi … ayah lucu”, Fasya tidak dapat menahan diri untuk terkekeh kaya’ Mbah Dul.

“Ayah lucu …? Ayah lucu…?”, kata Ayah sambil gelengin kepala ajrut – ajrutan.

“Ha … ha … ha”

“Tong … tong”


“Sya, kita cari kaosnya, yok?” kata ayah sambil bangkit dari kubur … eh … bangkit dari kursi, berjalan kea rah kenop pompa dan suara “Tong … tong” pancuran bambu itu berhenti.


“Gini, coba Fasya pura – puranya kaya’ habis latihan, lari ke rumah, buka baju, terus kemana?” lanjut ayah.


Fasya mengernyitkan kening, gaya khasnya kalo sedang berfikir (dipikirnya dia Einstein? Serius amat, siy).

Dia lari ke halaman rumah, tangannya seperti menenteng sesuatu (kelihatannya dia pura – pura sedang nenteng sepatu), melewati taman yang ada pancuran bambu, arahnya ke gentong, membasahi rambutnya, mencuci muka dan mengakhiri “ritual” itu dengan cuci kaki.


Fasya berjalan kearah rumah dengan meloncati batu – batu setapak (mungkin dia sedang berkhayal punya ilmu meringankan tubuh, ciaaaattt … )

Lalu kaki mungilnya mendarat di keset karet bertuliskan HEAVEN (kok ada ya, keset tulisannya bukan WELCOME?)

Fasya masuk rumah dan ayah yang masih berada di beranda mengikutinya.


Fasya masuk kamar, membuka lemari pakaian, mengambil handuk bersih, mengelap mukanya sekilas, melempar handuk ke tempat tidur sampai menutupi bantal bolanya lalu …

hoplaaaa …

Fasya membuka kaosnya yang dilempar ke udara lalu diarahkan ke kolong tempat tidur oleh tendangan mata kakinya seakan – akan gumpalan kaos basah itu adalah bola sepak yang pasrah pada tuannya.

Melihat adegan itu, ayah setengah teriak “Sodara penonton, tendangan maut dari striker kita mengarah ke kolong tempat tidur…”

Fasya kaget dan mengintip kesana. Kolong tempat tidur.

Nun jauh disana, di pojok kolng nan gelap, samar – samar terlihat gumpalan sebesar bola sepak. Dengan air muka bersalah, Fasya mengambil sapu lidi di pojok kamar yang biasa dipakainya untuk membersihkan kasur untuk kemudian menyodok – nyodok gumpalan itu.

Ayah hanya memperhatikan dari pintu kamar.

Keringat mulai nampak bintiknya di kening Fasya. Diseretnya gumpalan itu, Nampak biru baju yang tadi baru ditendangnya. Berdebu. Terseret juga gumpalan lain. Merah – Putih tersembul. Fasya menoleh ke ayah. Tatapan mereka bertemu. Baju Bambang, ayah?

Ayah senyum- senyum menggemaskan (halah …)

B

Setelah tidur siang paling nyenyak yang pernah Fasya rasakan, Fasya sudah berada di pinggir lapangan rumput di depan rumah sambil memegang botol minuman (bukan mau syuting iklan minuman berenerji, lho … J)

Bersama ayah, teman ayah dan beberapa temannya, Fasya siap pemanasan (ayah bilang tentang sesuatu yang ada up – up gitu)

“Fasya, habis latihan nanti, baju BOAS nya ditaruh mana?”, suara ayah memecah konsentrasi.

“Taruh di jemuran belakang”


Ayah : “Biar apa?”


Fasya : “Biar kering”


Ayah : “Habis kering?” (habis kering sepah dibuang, ayah … halah itu habis manis)


Fasya : “Dicuci Mbak Nas”


Ayah : “Kalo nggak dijemur dulu, memangnya kenapa?”, tanya ayah sambil menghitung jumlah bola.


Fasya : “Bajunya cepet rusak, ada hitam – hitamnya”


(hitam – hitam : jamur yang muncul di kain karena kain yang lembab dalam jangka waktu lama, tidak secepatnya diangin - anginkan. Biasa disebut “bajunya tahi lalatan” J)


Ayah Tanya terus, “Memangnya siapa yang bilang ada hitam - hitam begitu?”


Fasya : “Bunda yang bilang”


Ayah : “Bunda siapa?”


Fasya : “Bundanya Fasya, siy …”


Ayah : “Siapa namanya Bunda?”


Fasya menoleh ke Ayah, pandangan mereka bertemu, Fasya menarik – narik kaos Ayahnya,

“Bunda A. I. S. Y.A. H”


Ayah : “Mana Bunda Aisyah?”


Fasya : “Nggak ada”


Ayah : “Kemana?”


Fasya : “Hmmm … mudik, Yah” (mungkin dia sering dengar kata – kata ini dari orang besar)

Ayah : “Kemana?”


Fasya : “Swarna … hmm” (maksudnya Swarna Dwipa : Daratan Emas)


Ayah : “Ngapain Bundanya?”


Fasya : “Lihat Eyang” (Fasya mulai bosan, lalu ikut mengumpulkan bola, mulutnya komat – kamit seperti orang yang sedang menghitung)


Ayah : “Kok Fasya nggak ikut lihat Eyang?”


Fasya : “Minggu depan, siy…!!”


Ayah : “Sudah beli tiket?”


Ditanya begitu Fasya kaget. Dengan air muka khawatir dia memandang ayah yang mulai berdiri lalu menjawab ”Belum beli tiket”


Ayah : “Kok belum?”


Fasya : “Belum nabung”


Ayah : “Huuu … ayah sudah”


Fasya : “Minta tiketnya, ayah”

Mendengar permintaan Fasya yang memohon – mohon Ayah tidak tergoda dan bilang, “Lho … kok minta? Beli sendiri”


Fasya : “He … he… he”


Ayah : “Kok he … he… he?”


Fasya : “Ndak tau”


Ayah mulai menggerak – gerakkan bahu . Dengan pandangan mata ke arah lapangan, ayah bertanya, “Nggak kangen Bunda, ya?”


Fasya : “Kangen”


Ayah : “Kangen itu apa?”


Fasya : ”Ndak tau…” (dia bingung …)


Ayah : “Kok ndak tau?”


Fasya yang tadi berniat mengikuti gerakan bahu ayahnya, mengurungkan niat lalu menarik – narik kaos ayahnya, “Ayah …”


Ayah menghentikan gerakan bahunya, menoleh ke bawah,. Melihat Fasya yang duduk lagi di pinggir lapangan, ayah menyamakan pandangan dengan berjongkok, “Lho…katanya mau pemanasan. Kok malah duduk lagi?”


Fasya diam, matanya tertuju ke rumput. “Fasya mau makan rumput?”, ayah mencoba melucu tapi garing … kriuk … kriuk.


“Ayah …” Fasya memecah kesunyian


Ayah : “Ya, Nak…?”


Fasya : “Kangen Bunda … hik… hik” (mulai lagi, deh …)

[

THE END